Pembaruan Perda Disabilitas Menjadi Kebutuhan Mendesak
Surabaya, KoranTransparansi.com
![]() |
| Golkar Jatim menggelar DGD tentang Perda Disabilitas. Menurut mereka, pembaruan Perda dianggah mendesak dan perlu penyesuaian |
Wakil Ketua Bidang Hukum dan HAM DPD Golkar Jatim, Julianto
Simanjuntak, menyampaikan bahwa Perda Disabilitas Jawa Timur yang saat ini
berlaku sudah tidak lagi relevan dengan dinamika hukum nasional. Pasalnya,
perda tersebut disusun pada 2013, sementara Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016
tentang Penyandang Disabilitas baru terbit tiga tahun kemudian.
“Perda yang ada perlu diselaraskan agar tidak menimbulkan
kekosongan perlindungan hukum. Regulasi daerah harus sejalan dengan
undang-undang nasional,” ujar Julianto.
Menurut dia, FGD ini menjadi langkah awal untuk menyusun
desain regulasi baru yang tidak hanya normatif, tetapi juga menjawab kebutuhan
riil penyandang disabilitas. Inisiatif tersebut merupakan arahan langsung Ketua
DPD Golkar Jatim Ali Mufthi, yang menilai pembaruan Perda Disabilitas sebagai
kebutuhan mendesak.
“Perda ini tidak boleh sekadar administratif. Negara harus
benar-benar hadir melalui kebijakan yang melindungi dan memberdayakan
penyandang disabilitas,” tegasnya.
Dalam forum tersebut, Golkar Jatim menghadirkan berbagai
pemangku kepentingan lintas sektor, mulai dari APINDO, Dinas PUPR, Dinas
Sosial, Dinas Tenaga Kerja, Komisi E DPRD Jawa Timur, hingga lebih dari 20
komunitas penyandang disabilitas dari berbagai daerah di Jawa Timur
Julianto menekankan bahwa pelibatan komunitas difabel
merupakan prinsip utama dalam penyusunan naskah akademik perda. Menurut dia,
suara penyandang disabilitas harus menjadi dasar dalam merumuskan kebijakan
publik yang inklusif.
“Kebutuhan difabel tidak bisa ditentukan sepihak. Mereka
harus menjadi subjek, bukan objek, dalam penyusunan regulasi,” ujarnya.
Isu ketenagakerjaan menjadi salah satu perhatian utama dalam
FGD tersebut. Julianto menyinggung implementasi kuota kerja bagi penyandang
disabilitas, yakni 1 persen di sektor swasta serta 2 persen di BUMN dan BUMD,
yang dinilai belum berjalan optimal di lapangan.
“Beberapa perusahaan sudah mulai menjalankan ketentuan ini,
namun implementasinya masih perlu diperluas dan diawasi secara konsisten,”
katanya.
Selain itu, persoalan aksesibilitas fasilitas publik juga
menjadi sorotan. Julianto mengapresiasi kemajuan yang ditunjukkan Kota Surabaya
melalui penyediaan parkir khusus, guiding block, dan fasilitas ramah
disabilitas di transportasi publik. Namun, kondisi serupa belum merata di
kabupaten/kota lain.
Dalam FGD juga mengemuka persoalan stigma sosial terhadap
penyandang disabilitas yang masih kuat di sejumlah daerah.
“Masih ada keluarga yang merasa malu memiliki anggota
keluarga disabilitas. Ini persoalan serius. Perda harus hadir bukan hanya
mengatur fasilitas, tapi juga membangun kesadaran dan penghormatan terhadap
martabat manusia,” tegas Julianto.
FGD ini turut menghadirkan Adam, penulis naskah akademik,
agar seluruh masukan dari peserta dapat langsung diintegrasikan dalam desain
regulasi yang sedang disusun.
Julianto menegaskan bahwa penyusunan Perda Disabilitas ke
depan harus dilakukan secara partisipatif, transparan, dan berorientasi masa
depan, sehingga pemerintah daerah memiliki regulasi yang kuat, selaras dengan
undang-undang, dan benar-benar berpihak pada penyandang disabilitas.
“Kami ingin perda ini menjadi pijakan kebijakan yang adil
dan manusiawi, bukan sekadar dokumen hukum,” tegasnya. (*)

Posting Komentar untuk " Pembaruan Perda Disabilitas Menjadi Kebutuhan Mendesak"