Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pembaruan Perda Disabilitas Menjadi Kebutuhan Mendesak

Surabaya, KoranTransparansi.com

Golkar Jatim menggelar DGD tentang Perda Disabilitas. Menurut mereka, pembaruan Perda dianggah mendesak dan perlu penyesuaian
Surabaya, Korantransparansi.com -  DPD Partai Golkar Jawa Timur menggelar Forum Group Discussion (FGD) bertema “Merajut Desain Peraturan Daerah Disabilitas Provinsi Jawa Timur” sebagai upaya merumuskan regulasi baru yang lebih inklusif, komprehensif, dan berpihak pada penyandang disabilitas. FGD ini digelar di Kantor DPD Golkar Jatim, Senin (15/12/2025).

Wakil Ketua Bidang Hukum dan HAM DPD Golkar Jatim, Julianto Simanjuntak, menyampaikan bahwa Perda Disabilitas Jawa Timur yang saat ini berlaku sudah tidak lagi relevan dengan dinamika hukum nasional. Pasalnya, perda tersebut disusun pada 2013, sementara Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas baru terbit tiga tahun kemudian.

“Perda yang ada perlu diselaraskan agar tidak menimbulkan kekosongan perlindungan hukum. Regulasi daerah harus sejalan dengan undang-undang nasional,” ujar Julianto.

Menurut dia, FGD ini menjadi langkah awal untuk menyusun desain regulasi baru yang tidak hanya normatif, tetapi juga menjawab kebutuhan riil penyandang disabilitas. Inisiatif tersebut merupakan arahan langsung Ketua DPD Golkar Jatim Ali Mufthi, yang menilai pembaruan Perda Disabilitas sebagai kebutuhan mendesak.

“Perda ini tidak boleh sekadar administratif. Negara harus benar-benar hadir melalui kebijakan yang melindungi dan memberdayakan penyandang disabilitas,” tegasnya.

Dalam forum tersebut, Golkar Jatim menghadirkan berbagai pemangku kepentingan lintas sektor, mulai dari APINDO, Dinas PUPR, Dinas Sosial, Dinas Tenaga Kerja, Komisi E DPRD Jawa Timur, hingga lebih dari 20 komunitas penyandang disabilitas dari berbagai daerah di Jawa Timur

Julianto menekankan bahwa pelibatan komunitas difabel merupakan prinsip utama dalam penyusunan naskah akademik perda. Menurut dia, suara penyandang disabilitas harus menjadi dasar dalam merumuskan kebijakan publik yang inklusif.

“Kebutuhan difabel tidak bisa ditentukan sepihak. Mereka harus menjadi subjek, bukan objek, dalam penyusunan regulasi,” ujarnya.

Isu ketenagakerjaan menjadi salah satu perhatian utama dalam FGD tersebut. Julianto menyinggung implementasi kuota kerja bagi penyandang disabilitas, yakni 1 persen di sektor swasta serta 2 persen di BUMN dan BUMD, yang dinilai belum berjalan optimal di lapangan.

“Beberapa perusahaan sudah mulai menjalankan ketentuan ini, namun implementasinya masih perlu diperluas dan diawasi secara konsisten,” katanya.

Selain itu, persoalan aksesibilitas fasilitas publik juga menjadi sorotan. Julianto mengapresiasi kemajuan yang ditunjukkan Kota Surabaya melalui penyediaan parkir khusus, guiding block, dan fasilitas ramah disabilitas di transportasi publik. Namun, kondisi serupa belum merata di kabupaten/kota lain.

Dalam FGD juga mengemuka persoalan stigma sosial terhadap penyandang disabilitas yang masih kuat di sejumlah daerah.

“Masih ada keluarga yang merasa malu memiliki anggota keluarga disabilitas. Ini persoalan serius. Perda harus hadir bukan hanya mengatur fasilitas, tapi juga membangun kesadaran dan penghormatan terhadap martabat manusia,” tegas Julianto.

FGD ini turut menghadirkan Adam, penulis naskah akademik, agar seluruh masukan dari peserta dapat langsung diintegrasikan dalam desain regulasi yang sedang disusun.

Julianto menegaskan bahwa penyusunan Perda Disabilitas ke depan harus dilakukan secara partisipatif, transparan, dan berorientasi masa depan, sehingga pemerintah daerah memiliki regulasi yang kuat, selaras dengan undang-undang, dan benar-benar berpihak pada penyandang disabilitas.

“Kami ingin perda ini menjadi pijakan kebijakan yang adil dan manusiawi, bukan sekadar dokumen hukum,” tegasnya. (*)

Posting Komentar untuk " Pembaruan Perda Disabilitas Menjadi Kebutuhan Mendesak"